Rabu, 21 Januari 2009

Derita Bocah di Jalur Gaza

Derita Bocah di Jalur Gaza

Korban serangan udara, laut, dan darat ke Jalur Gaza terus bertambah. Gempuran selama hampir dua pekan di Jalur Gaza jelas menyisakan kepedihan mendalam. Selain itu, juga ketakutan, kecemasan, dan trauma pada warga setempat, terutama anak-anak. "Gaza ini wilayah kecil. Jadi, pada saat bom-bom Israel dijatuhkan, kami merasa bom itu seperti jatuh di rumah kami," kata Shawa, warga setempat yang memiliki tiga anak.

"Aku takut sekali..., seolah-olah kematian terus membayangiku," ujar Mohammad Ayyad. Bocah 11 tahun yang tinggal tak jauh dari bangunan pemerintah Hamas di kota Gaza ini masih dibayang-bayangi serangan bom Israel ke kawasan itu. Seperti banyak anak lainnya, dia mengalami trauma oleh serangan besar-besaran itu. "Kami mendengar banyak sekali ledakan. Adikku sampai ngompol," katanya, seperti dikutip AFP.

Jangankan siang hari, malam di sejumlah kawasan di Gaza pun tak membuat nyaman warga setempat. Pasukan Israel kerap melancarkan serangan pada malam hari. "Serangan pada malam hari membuat suasana di sini seperti di neraka," ujar Sarah Radi, seorang guru berusia 26 tahun. Setiap malam, warga dikejutkan oleh setidaknya 200 ledakan bom tiap jam selama serangan.

Apa yang tengah berlangsung di Gaza, menurut Sarah, adalah pemusnahan warga sipil. "Mereka bilang mau menghancurkan Hamas. Kenyataannya, mereka mau menghabisi warga dan anak-anak Palestina. Apa yang telah dilakukan perempuan dan anak-anak sehingga pasukan Israel memusnahkan rumah mereka?" tanya dia.

Faktanya memang seperti diungkapkan Shawa. Jalur Gaza yang terentang sepanjang sekitar 40 kilometer dan lebar sekitar 10 kilometer itu dihuni kurang lebih 1,5 juta warga. Tingkat kepadatan penduduknya sangat tinggi, mencapai hampir 4.000 orang per kilometer persegi. Hampir separuh penduduknya adalah anak-anak dan remaja di bawah usia 18 tahun.

Para ahli kejiwaan pun mengarahkan perhatian mereka pada anak-anak dan remaja ini. Menurut perkiraan Samir Zaqut, serbuan mutakhir Israel ke Gaza itu akan jadi bayang-bayang mengerikan dan tak terlupakan bagi anak-anak. "Jelas, serangan bom dan peluru kendali Israel itu bisa menyebabkan tekanan pasca-traumatis pada mereka, seperti depresi, insomnia, bahkan kemungkinan besar skizofrenia," kata psikolog yang bekerja untuk Gaza Community Mental Health Programme, lembaga non-pemerintah yang beroperasi di Gaza, itu.

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bidang khusus anak-anak, Unicef, menegaskan bahwa Gaza sekarang menjadi tempat paling berbahaya bagi anak-anak. Sebanyak 53% anak-anak tidak percaya lagi bahwa orangtua mereka bisa melindungi mereka dari kekerasan itu. Malah 93% merasa tidak aman di mana pun mereka berada.

Perang memang membuat anak-anak trauma. Hidup dalam ketakutan, seakan bom berikutnya mengenai rumah mereka. Banyak sekali di antara mereka kini enggan makan. Mereka kehilangan nafsu bermain, jarang bicara, dan memeluk erat orangtua mereka setiap saat. "Mereka dibayangi ketakutan, terutama pada malam hari karena gelap tanpa penerangan listrik," ujar Sajy Elmaghinni, petugas Unicef di Gaza, seperti dikutip harian Hurriyet.

Belum lagi bila dihitung dampak agresi Israel itu terhadap anak-anak yang mengalami cacat tubuh. Hingga saat ini, belum ada catatan resmi tentang jumlah anak yang anggota tubuhnya harus diamputasi. Di Rumah Sakit Shifa di kota Gaza, terkabar, setiap dokter rata-rata mengamputasi lima hingga 10 pasien setiap hari. "Saya tidak tahu senjata macam apa yang digunakan pasukan Israel. Banyak sekali operasi amputasi dilakukan di sini," kata Ziad Abdul Jawad.

Erwin Y. Salim
[Laporan Utama, Gatra Nomor 9 Beredar Kamis, 8 Januari 2009]

SUKA DUKA MENJADI STAFF (ADMINISTRASI)

Aktivitas kita misal saya jadi “teknisi komputer” katanya ? , lebih banyak menjemukan daripada menyenangkan. Kita mendapat beban dan tuntutan yang lebih besar dibanding baju kita (karena saya pribadi orangnya gendut lho) artinya apa? setiap hari kita harus melayani, mendampingi orang-orang yang notabene tidak mau berkembang atau maju. Tapi kita diminta (bahasa feodalnya dituntut) untuk dapat menyelesaikan tugas atau mungkin tanggungjawab mereka (kalo mereka sadar). Kita jarang mendapat kesempatan untuk membekali diri (menyelesaikan tugas atau bahkan lari dari tanggungjawab he…he…) seperti pelatihan, seminar, bahkan kalo bisa dapat beasiswa studi lanjut gitu loh ! (INI MIMPI SAYA). Paling-paling hiburan kita seperti ini nulis ra karu-karuan ra jelas. Jadi ya… seperti itu : MEMBOSANKAN.

Cahaya Hati

Allah engkau dekat
Penuh kasih sayang
Takkan pernah engkau
Biarkan hamba Mu menangis
Karna kemurahan Mu
Karna kasih sayang Mu
Hanya bila diri Mu
Ingin nyatakan cinta
Pada jiwa jiwa yang rela
Dia kekasih Mu
Kau yang selalu terjaga
Yang memberi segala
Allah Rohman Allah Rohim
Allahu Ya Ghofar Ya Nurul Qolbi
Allah Rohman Allah Rohim
Allahu Ya Ghofar Ya Nurul Qolbi
Di setiap nafas di segala waktu
Semua bersujud memuji memuja asthma Mu
Kau yang selalu terjaga
Yang memberi segala
Setiap makhluk bergantung padaMu
Dan bersujud semesta untuk Mu
Setiap wajah mendamba cinta Mu cahaya Mu

Kisah Duka Seorang Hamba Allah

DUA hari yang lalu, istri saya bertemu dengan seorang Ibu yang menjadi guru PAUD di daerah Perumnas Klender, dengan berlinangan air mata ia berusaha menceritakan semua yang dialaminya dalam tahun-tahun terakhir ini. Kami semua akrab dengan Ibu ini, karena dia pernah menjadi guru ngaji anak saya.

Berawal dari tekanan orang tua, untuk keluar dari rumahnya, dan hidup yang kurang beruntung karena berlatar belakang ekonomi kurang mampu, akhirnya mereka putuskan untuk hidup terpisah dari orang tua, dengan menyewa rumah petak di daerah Klender. Suaminya bekerja sebagai pegawai sebuah bengkel motor, yang pendapatannya sangat bergantung dari berapa banyak motor yang ia tangani, sementara untuk menutupi kekurangan biaya sehari-hari, ia bekerja sebagai guru ngaji di TPA.

Dikarenakan TPA ini adalah milik perseroangan, maka manajemen yang diterapkan adalah “manajemen keluarga”, selama membawa keuntungan untuk keluarga, maka dukungan akan diberikan. Jika tidak membawa keuntungan untuk keluarga, terutama materi, maka dukungan akan ditarik, bahkan pemecatan sepihak menjadi kartu yang selalu digunakan untuk menghentikan protes.

Dua tahun yang lalu, Ibu ini datang ke rumah, untuk pamit pindah ke Bekasi. Bertekat merubah nasib bersama suami di Bekasi dengan membuka bengkel seadanya. Malang tak dapat ditolak, usaha baru buka 6 bulan, dan tanda-tanda perubahan menuju kebaikan mulai terlihat, sang suami ditabrak mati oleh orang yang sampai sekarang tidak mau bertanggungjawab. Dengan berat hati, dan menebalkan muka, ia kembali ke rumah orang tua. Memulai hidup baru dengan status perkawinan yang baru, janda dengan 2 anak.

Dalam keluarga yang tidak beruntung, numpang tidur saja sudah menjadi masalah besar, apalagi numpang makan, maka dengan seluruh sindiran yang ia terima, dia paksakan untuk tinggal bersama. Sambil mencari pekerjaan disana-sini, dengan berbekal ijazah D1 PGTK. Akhirnya diterima di salah satu PAUD yang sekarang sedang menjamur dimana-mana, dengan gaji Rp. 150.000,-/bulan, tanpa tunjangan apa-apa. Untuk menutupi kekurangan, membantu mengajar ngaji di TPA dengan gaji Rp. 100.000,-/bulan, juga tanpa tunjangan apa-apa.

Cukupkah hidup di Jakarta dengan uang Rp. 250.000,-/bulan? Untuk 3 orang, 1 orang Ibu dan 2 orang anak dengan usia 6 tahun dan 2,5 tahun. Akhirnya, dengan paksaan yang cukup menghinakan, anak pertama diambil oleh neneknya, dengan sindiran untuk hidup lebih layak, dan takut cucunya tidak dapat sekolah dengan baik.

Pagi ini kita berjumpa lagi, ia menambahkan cerita yang kemarin, latar belakang hidupnya, keluarga suaminya dan harapan terhadap hidup yang lebih baik. Rasanya, jika tidak percaya akan adanya Allah, mungkin sudah lama ia mengakhiri hidupnya. Karena dua alasan ini, ia masih mau bertahan hidup, Allah dan anaknya.

Saya ditampar oleh kenyataan, ditengah gegap gempitanya orang hidup, mencari kemewahan, mencari tambahan yang bukan lagi untuk hidup cukup, tapi foya-foya. Sementara datang kepada saya, seorang yang didepan mata, dan saya yakin pasti ada di sekeliling kita, mengharapkan belas kasihan, tapi malu untuk meminta. Bertahan hidup dengan kelaparan, hinaan dan ketidak-berartian hidup. Masihkah kita berani berkaca, dengan mengatakan kita telah “berislam” dengan baik.

Tergambar dalam pikiran saya, sanggupkah kita menjalankan kehidupan seperti dirinya. Berusaha hidup layak dengan ketidaklayakan pendapatan. Rp.250.000,- untuk bertahan hidup, ditengah kebutuhan susu dan gizi untuk pertumbuhan anaknya.

Kita mengajarkan mereka untuk mencuri, karena kita membiarkan mereka hidup dibawah kemelaratan yang tak terperi. Khalifah Umar bin Khattab pernah tidak menghukum orang yang mencuri, karena dia tidak punya apa-apa. Bahkan Umar akan menarik harta orang yang kaya untuk orang yang miskin di sebelahnya, nabi pun pernah bersabda: “Bukanlah dari golonganku, jika ia tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan”

Dimana letak sempurnanya Islam, jika kita hanya mengaji pada tataran ilmu, tidak mengimplementasikannya di dunia, membumikan pengetahuan agama kita, merangkul saudara kita, merasakan kesedihan mereka, ikut merasakan penderitaan mereka. Bukan dengan ucapan belaka, bukan dengan data statistik yang dimanipulasi, tapi dengan uluran tangan, membuka kedua tangan kita untuk menerima mereka.

Bahayanya dalam masyarakat kita, memandang seorang janda, sebagai pengganggu kehidupan keluarga yang lain, sehingga mereka dikucilkan, sementara mereka pun memiliki anak, anak yatim, yang nabi titipkan kepada kita dan diperkuat dalam Al-Quran. Anak mereka menjadi sulit untuk diasuh karena kita, karena kita telah menyudutkan mereka, menyudutkan orang yang tidak memiliki bapak, dengan memberikan label anak nakal, dengan label anak sulit diatur.

Mereka menjadi anak yang sulit diatur karena mereka kehilangan kendali, mereka mencari keseimbangan yang tidak ia terima, karena hilangnya satu sandaran mereka. Jangan diperburuk dengan tudingan miring kepada mereka.

Sempurnakan keislaman kita, jadikan Islam memang menjadi rahmatan lil ‘alamin, dengan menerima mereka, dengan merangkul mereka dan mendengarkan seluruh derita mereka, kemudian bantu mereka.

Jika kita merasa risih dengan keberadaan mereka, dan tidak terketuk untuk meringankan derita mereka, maka sudah selayaknya kita mengevaluasi diri kita.

Ketika kami berpisah, dan saling memberikan doa. Satu lagi pelajaran yang nyata telah Allah hadirkan dihadapan kami. Bukan untuk dihindari, tapi dihadapi.

nb. Untuk seorang yang melangkah dengan segunung kesabaran

Wallahu al-Musta’an

M. SUJA’I ANHAR

Artikel ini dimbil dari : "http://public.kompasiana.com/2009/01/06/kisah-duka-seorang-hamba-allah/"